Penyair adalah jalan hidup. Baik sedang berkarya atau tidak. Seorang penyair masuk dalam konteks realitas karena kepedulian akan panggilan kharismatik dari alam sekitarnya, dari debu, kerikil, lava, angin, pohon, kupu-kupu, margasatwa. Dari yatim piatu, orang-orang papa, lingkungan kampung halamannya, lingkungan bangsanya, lingkungan kemanusiaannya. Ia harus selalu peduli. Tetapi tidak cukup cuma peduli, karena harus dikaitkan dengan perintah dan larangan Allah. Apa pun, termasuk bersyair, harus menjadi ruang ibadah. Harus mengaitkan dengan kehendak Allah. Kita buat, misalnya, sajak mengenai pelacur, mengenai singkong, atau mengenai perahu. Itu juga religius selama dikaitkan dengan meraih kehendak Allah.
Kalimat di atas adalah sepenggal dari pendermaan buah pikir seniman terbaik tahun 60-an, WS Rendra. Baginya, proses kreatif dalam menulis sebuah karya sastra adalah misteri. Dia mengatakan waktu untuk menulis dalam kehidupan hanya 2-3 persen. Beberapa jam selesai. Selebihnya menyiapkan diri untuk hidup secara kreatif, menjaga daya cipta, dan daya hidup.
Si burung merak ini adalah seorang penderma pikiran yang tidak pernah menangis tak kala menghadapi kekuasaan politik. Dia sempat dijebloskan ke penjara pada 1978, dan mendapat represi pelarangan tampil di berbagai tempat.
"Saya menangis untuk masalah-masalah lain. Dulu saya pernah diminta membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis, terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau mengenangkan Asmaul Husna," tutur Rendra saat diwawancara wartawan Republika, Iman Yuniarto F, di kediamannya pada Oktober 2006.
Cahaya Islam dalam Karya Sastra Rendra
Sejak masuk Islam, Rendra mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra mengaku tahu alasan kenapa dia tertarik dengan Islam, tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa memutuskan masuk Islam. "Saya sebetulnya takut sekali terhadap masyarakat Islam. Tapi saya sudah lama tertarik kepada Alquran. Lihat saja. Apa ada kitab suci yang menjelaskan konsep ketuhanannya dalam kalimat yang singkat seperti Alquran?" tanyanya.
Sewaktu Rendra kuliah di Amerika Serikat (kuliah teater), saat itu sedang populer-populernya filsafat eksistensialisme. Kemudian, dia membaca kalimat, Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Rendra terkesan.
Menurutnya, tidak ada kitab suci yang mengatakan bahwa manusia akan selalu merugi dalam perkara waktu. "Lihat. Apa pun bisa kita budayakan, termasuk ruang. Tetapi kita tidak bisa membudayakan waktu. Apa bisa kita menghentikan hari? Dengan teknologi setinggi apa pun, magic setinggi apapun, tidak bisa kita membuat hari Rabu tidak menjadi Kamis. Termasuk saya, tidak bisa menolak kelahiran saya. Saya tidak bisa memilih untuk lahir pada abad ke-22 atau lahir zaman Majapahit," jelasnya.
Menurut Alquran, kita akan selalu merugi soal waktu. Tapi, Alquran juga menyodorkan solusi. Disebutkan hanya orang-orang tertentu yang akan selamat. Yakni yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam kesabaran dan kebenaran. Alquran tidak menyebut yang selamat adalah orang yang Islam, orang yang kaya, orang yang pintar atau orang yang sehat.
Ketika ditanya hubungan antara Islan dan karya sastranya, Rendra menjawab, "Intinya kita berwasiat dalam kebenaran. Mudahan-mudahan."
sumber : republika.co.id
Kamis, 20 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar