Rabu, 12 Agustus 2009

Irene Handono, Bantahan Mantan Katolik (V.7)

V. KITAB SUCI
Kenapa kalian mengingkari

ayat-ayat Allah...?

BAHASA AL -QUR'AN

Gramatika Arab.

Adalah suatu keganjilan jika 14 abad setelah masa pewahyuan - ketika kefasihan berbahasa Arab oleh pemakainya sendiri tidak seindah dulu-, tiba-tiba ada seorang Amerika (Dr. Robert Morey) -yang tidak menguasai bahasa Arab- mengatakan:

Pertama-tama, AI-Qur'an bukanlah bahasa Arab yang sempurna. AI-Qur'an mengandung banyak sekali kesalahan gramatika seperti dalam surat 2:177 ........ 63

Gramatika Arab pertama kali ditulis secara serius oleh Sibawaih yang asli Persia pada abad ke II H. -1,5 abad setelah al-Qur'an diturttnkan-, setelah sebelumnya pada abad I H. dasar­dasarnya telah diletakkan oleh Abul Aswad ad-Duali. Bagaimana mungkin gramatika Arab menghukumi al-Qur'an sementara penulisan gramatika itu sendiri merujuk kepada bahasa al-Qur'an -selain syair-syair Arab-. Ini kan sama saja dengan mengatakan "berdasarkan air garam yang saya minum, maka air laut man itu kurang asin".

Seperti kata Robert Morey : "Yang lama mencocokkan yang baru".64 Karena nahwu yang datang sesudah al-Qur'an telah mengambil kaidah-kaidah pemakaian bahasa dari Qur'an, maka al-Qur'an lah yang menghukumi nahwu bukan sebaliknya. Ini baru prinsip yang masuk akal. Sedang untuk masalah ajaran agama yang tentunya memuat hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Maka prinsip yang dipakai adalah prinsip hukum yaitu "Yang baru menghapus yang lama".

Satu hal yang perlu kita sadari bahwa gramatika ditulis berdasarkan generalisasi dari seluruh kata yang secara alami telah dipakai oleh suatu komunitas. Dan setiap generalisasi pasti menyisakan `kecuali'. Dalam bahasa Indonesia kalau saya katakan 'mensucikan' tidak akan salah menurut "Kaidah Bahasa Indonesia", karena ada dua kata yang jika terapkan dengan kaidah yang sama maka salah satu maknanya hilang, yaitu: cuci dan suci. Padahal seharusnya huruf pertamanya diganti "ny". Begitu juga bahasa Arab. Bahasa keseharian yang terekam dalam al-Qur'an sudah berlaku sebelum gramatika ditulis. Maka generalisasi dalam pengambilan kaidah bahasa yang datang kemudian akan menyisakan "pengecualian" yang kemudian dikatakan oleh Dr.Robert Morey melanggar tata bahasa.

Kisah-kisah dalam AI-Qur'an

Dr. Robert Morey ingin membabat habis semua kisah dalam al-Qur'an dengan tolak ukur kebenaran Bibel. Sementara otoritas Injil sendiri menyatakan seperti berikut ini:

Dr. Welter Lempp :

"Susunan semesta alam yang diuralkan dalam Kitab Kejadian I tidak dapat dibenarkan lap oleh ilmu pengetahuan modern" (Tafslran Kejadian, hal. 58). "Pandangan kejadian I dan seluruh Injil tentang susunan semesta alam adalah berdasarkan ilmu kosmografi bangsa Babel. Pandangan itu sudah ketinggalan jaman ". 65

Dr. M.r. D. C. Mulder :

“Jadi benarlah Daud itu pengarang Mazmur yang 73 jumlahnya? Hal itu belum tentu. Sudah beberapa kali kita menjumpai gejala bahasa orang Israel suka menggolongkan karangan-karangan di bawah nama orang yang termasyhur... Oleh karena Itu tentu tldak mustahil pengumpulan-pengumpulan mazmur-mazmur itu (atau orang-orang yang hidup lebih kemudian) memakal nama Daud, karena raja itu Termasyhur sebagai pengarang mazmur-mazmur. Dengan lain perkataan, pemakaian nama Daud, Musa, Salomo itu merupakan tradisi kuno, yang patut diperhatikan, tetapi tradisi itu tidak menglkat" 66

Karena otoritas Injil sendiri yang mengatakan seperti di atas maka tentang kisah-kisah dalam al-Qur'an tidak perlu dibandingkan dengan Bibel. Namun ada baiknya kita membahas sedikit tentang kisah-kisah dalam al-Qur'an.

Penyikapan umat Muslim terhadap kisah-kisah dalam al­-Qur'an sangat berbeda dengan tradisi Kristen yang lebih memandang kisah Bibel sebagai kitab Sejarah. Umat muslim lebih memandang kisah tersebut sebagai Ibrah dan cermin untuk kehidupan mereka. Al-Qur'an sendiri selalu menyajikan kisah­kisah dengan cara terpisah. Kisah yang sama kadang diceritakan ulang dengan gaya bahasa dan penekanan yang berbeda. Ketika menceritakan dakwah nabi terdahulu misalnya, disajikan cerita beberapa nabi secara bersamaa, dengan penekanan terhadap peran nabi tersebut. Tentang penolakan kaumnya juga dikisahkan secara bersamaan tapi dengan penekanan pada masalah kaum tersebut. Satu gaya penyampaian yang sangat berbeda dengan kitab lainnya tapi dipahami oleh Dr. Robert Morey sebagai penyajian yang linier.

Dalam penyajian kisah seseorang al-Qur'an tidak menyebut nama secara pasti tapi hanya sebutan, seperti Imratul aziz (istri seorang terhormat-pejabat) untuk menyebut Zulaikha yang adalah istri dari seorang terpandang (pejabat Mesir). Kata "aziz" di atas bukanlah nama asli tapi sebutan seperti kita menyebut kata "terhormat" atau "tuan". Begitu juga Dzul Qornain (yang mempunyai dua tanduk) adapun siapa sebenarnya al-Qur'an tidak menyebutkan. Nama-nama tokoh sering disamarkan apalagi nama tokoh baik yang pernah melakukan kekhilafan seperti Zulaikha yang pernah menggoda Nabi Yusuf. Tapi unmk tokoh penting yang menjadi simbol dari kejahatan dan kebaikan, maka nama itu disebut dengan tegas, seperti Fir'aun, Haman, dan Karun. Nama Fir'aun memang tidak menunjuk satu personal karena Fir'aun adalah sebutan raja-raja Mesir, tapi karena kebanyakan raja-raja mesir kuno menuhankan dirinya maka sebutan umum itu disebutkan dengan tegas. Begitu juga nama­nama nabi dan rasul yang menjadi simbol kebaikan.

Disini kita memahami bahwa bukan nama dan tempat serta waktu dan tanggal juga tahun, tapi ibrah apa yang bisa diambil dari kisah mereka, itulah yang lebih penting. Sebab kisah dan sejarah tidak disajikan hanya sebagai bahan cerita. Penulisan kisah semacam inilah yang mestinya dilakukan penulis sejarah ketika mencatat peristiwa-peristiwa sejarah. Penulisan sejarah yang hanya ditujukan menyalahkan seseorang atau suatu rezim akan menyulut kejadian yang sama. Maka sejarah kelam sering terulang karena sejarah ditulis untuk balas dendam.

Susunan al-Qur'an

Hadits Nabi yang menyatakan "Al-Qur'an hanya bisa dipahami secara mendalam setelah memandang berbagai seginya" (al-Hadits). Seperti yang dikutip oleh Muhammad Arkoun dalam kajian ulum Qur'an-nya.

Jika ada yang mengeluh kesusahan memilah ayat untuk mencari membahas satu tema, saat ini sudah banyak sarana mencarinya. Tapi melihat al-Qur'an dengan cara memilah-milah saja akan menghilangkan banyak makna. Coba anda bayangkan jika seseorang hanya mengambil ayat jihad saja. Atau sebaliknya ayat-ayat kasih sayang saja. Jika kita kembali pada konsep tauhid dan konsep kemasyarakatan yang tertulis dalam ketiga kitab, seperti yang disampaikan al-Qur'an. Satu konsep tauhid, dan dua konsep kemasyarakatan. Dua konsep kemasyarakatan yang dijabarkan oleh masing-masing rasul, yaitu kasih sayang dan keadilan. Konsep kasih sayang digambarkan dengan mengasihi fakir miskin, yatim piatu, orang tertindas, musafir dll. Serta konsep keadilan yang digambarkan dengan ‘Qisas', nyawa dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, gigi dengan gigi, luka ringan dengan luka ringan (mohon tidak dicampur dengan pandangan praktisnya); bukankah konsep kedua ini menggambarkan rasa keadilan yang paling mendasar, Kesalahan berat diganjar berat, ringan diganjar ringan. Bukan berat diganjar ringan karena seorang tokoh, dan ringan diganjar berat karena rakyat jelata.

Satu konsep tauhid dan dua konsep kemasyarakatan untuk dua makhluq dari dua dimensi berbeda -materi dan non-materi­yaitu manusia dan jin. Semua itu disajikan oleh al-Qur'an dalam satu kesatuan, dan bukan dipisah. Sebab jika dipahami terpisah pasti akan ada yang ditinggalkan. Jika dipisah maka keseimbangan akan goyah. Kita tidak bisa menyalahkan rakyat palestina karena memang mereka sedang ditekan, secara mental dan fisik-telpon saja tidak bisa keluar dari wilayahnya-. Justru salah kalau mereka hanya menerapkan prinsip kasih sayang saja, sementara prinsip keadilan tidak ditegakkan. Born bunuh diri yang mereka lakukan lebih merefleksikan kondisi ketertindasan mereka dari pada sekedar ajaran-seperti yang sering dituduhkan selama ini-. Dunia barat sudah kehilangan keseimbangan akal dan perasaannya hingga tidak mampu melihat gajah dipelupuk matanya. Mereka menindas seenaknya kemudian menimpakan kesalahan pada orang yang ditindas ?

Kembali pada susunan al-Qur'an juga harus dilihat sama seperti melihat isinya. Ajaran yang sangat membutuhkan keseimbangan juga harus disampaikan dengan cara yang seimbang. Kita tidak bisa melihatnya dengan kaca mata kita yang suka melihat sesuatu menurut kehendak kita. Melihat susunan al-Qur'an secara parsial seakan kita memilah warna dari sekian banyak susunan bangunan yang berwarna pelangi. Kita kadang menginginkan yang merah saja, atau hijau saja tanpa memperhatikan bahwa kombinasi dari semuanya adalah keindahan. Yang jika dipisah maka hanya ada hamparan menjemukan seperti padang pasir dan lautan. Bahkan lautan pun dihiasi pelangi dan hamparan pasir dihiasi fatamorgana. Kita kadang harus memperhatikan para seniman dan sastrawan yang lebih bisa melihat keindahan hidup tanpa batasan teori yang kadang menghilangkan prinsip keseimbangan.

Novelis Inggris E.M. Foster dalam karyanya Aspects of the Novel mengejek upaya-upaya klasifikasi dalam melihat perkembangan sastra seraya menyatakan hal itu sebagai upaya pseudo-ilmiah (pseudo-scientific). Klasifikasi secara kronologis ataupun kecendrungan -tematis.67 Cara pandang Foster tersebut mungkin layak untuk kita terapkan dalam melihat susunan dan gaya bahasa al-Qur'an. Melihat susunan al-Qur'an yang dilandasi pemikiran parsial, tidak dapat menangkap sisi keindahan dari prinsip keseimbangan.

Coba kita telaah sekilas, Al-Qur'an yang dimulai dengan al-Fatihah dan di akhiri dengan an-Nas. Jika Al-fatihah disebut sebagai ummul kitab, hal itu tidak lah terlalu berlebihan, sebab disitulah inti ajaran tauhid. Setelah mengagungkan nama Allah kemudian menyatakan bahwa hanya kepada-Nya-lah menyembah dan memohon. Setelah itu memohon jalan orang­orang yang telah selamat memegang konsep dasar tauhid, jalan orang-orang yang mendapat ni'mat. Kemudian memohon agar terhindar dari kesalahan mereka yang telah menentang dan menghapuskan konsep itu.

Konsep tauhid ini kemudian mewarnai semua surat. Dalam setiap pembahasan baik ibadah dan kehidupan sosial selalu dikaitkan dengan Tauhid. Interaksi fertikal dan horizontal yang disimbolkan dengan "hamba" dan "khalifah" dalam dua dimensi kehidupan -materi dan nonmateri-, selalu ada dalam setiap surat. Bukankah itu suatu keseimbangan yang jika diubah maka keseimbangan itu akan hilang dan kehilangan ciri khasnya. Meninggalkan satu dimensi saja seseorang sudah tidak seimbang, kemudian mengatakan bahwa redaksi al-Qur'an melayang­layang. Dimensi non materi inilah yang sering dilupakan masyarakat modern, yang padahal mereka seringkali membuktikan keberadaannya, melalui kemajuan teknologi. Tidakkah kita melihat dalam dimensi non-materi seseorang bisa melakukan kontak tanpa media materi, kini hal itu dapat dinikmati orang banyak dengan adanya Handphone.

Setelah dua tujuan dalam dua dimensi itu disajikan, kemudian dalam surat-surat terakhir mu'awidzatain, konsep tauhid itu dinyatakan dengan sangat tegas lagi. Allah hanya Satu dan Allah lah tempat memohon -lihat makna ini dalam al­fatihah-. Lantas ditutup dengan permohonan agar keimanan diselamatkan dari gangguan makhluq dari dimensi non-materi, dan makhluq dari dimensi materi. Gangguan dari dimensi nonmateri mungkin tidak bisa diindera oleh manusia tapi bisa dirasakan, sedang yang dari dimensi materi/manusia kita bisa melihat dan mendengar (tayangan yang mencerminkan hedonisme -misalnya), membaca (Buku Islamic Invasion - contohnya), bahkan merasakan (gangguan fisik seperti yang dialami rakyat Palestina).

Secara Umum tidakkah itu merupakan suatu susunan yang indah dan sangat baligh-menurut istilah retorika Arab. Dimulai dari prinsip pokok yang singkat lalu dijabarkan kemudian ditutup dengan penekanan pada prinsip pokok yang disampaikan. Sehingga penekauannya lebih terlihat. Tidakkah kita melihat jika kita ingin menyampaikan sesuatu nasehat kepada anak misalnya : "Nak belajar lah", kemudian kita memberikan banyak alasan bahkan contoh dari orang-orang yang berhasil dan gagal, kemudian terakhir kita menekankan, ‘Jadi ingat ya, BELAJAR". Bukankan itu cara penyampaian yang tidak hanya bagus tapi tepat dan mendidik. Tidak otoriter, tapi dengan alasan dan ada penekanan di akhir. Itulah gaya al-Qur'an semua disertai dengan bukti, baik tertulis maupun contoh nyata kehidupan. Inilah gaya penulisan untuk mengungkap misteri kehidupan dari manusia yang suka memandang sesuatu sesuai yang diingini. Sehingga tidak bisa melihat sisi keseimbangan yang bahkan kita lihat dalam kehidupan nyata. Suatu saat mungkin orang mulai menggunakan cara-cara penulisan seperti yang dicontohkan al-Qur'an.

Coba kita renungkan berapa buku yang bisa bertahan lebih dari dua tiga kali baca secara lengkap? sebab ketika membaca yang kedua kita merasa sudah tahu isi dan maksud seperti judulnya kemudian bosan. Tapi al-Qur'an, tiap hari dibaca tanpa ada kejenuhan sedikitpun. Setiap kali dibaca kita menangkap satu pengertian yang tidak kita tangkap sebelumnya. Dalam situasi kejiwaan yang mandeg dan jumud kadang kita menangkap makna isyarat yang menjadi kata penentu dari sikap yang harus diambil. Dalam menghadapi situasi yang rumit dan seakan tak ada solusi kita menemukan kata kunci dari permasalahan yang dihadapi. Kita bahkan merasakan seakan setiap ayat berdiri sendiri jalin jalin menjalin dengan ayat lain, bahkan setiap kata kalau kita melihat rinci, masing-masing memiliki perannya. Sangat berbeda dengan tulisan manusia yang kadang menggunakan kata seenaknya, sehingga ada istilah kata sisipan yang kalau dihapus tidak berpengaruh pada yang lain.

Gothe menyatakan dalam Noten und Abhandlungen :

"Gaya bahasa al-Qur'an adalah, sesuai dengan isi dan tujuan-tujuannya, bersifat agung, mengagumkan, dan dalam beberapa tempat benar-benar sublim"..68

NOTES

63 Robert Morey, op. cit., ha1.139

64 ibid.) 159

65 Tafsiran Kejadian, hal. 65.

66 pembimbing ke da'am Perjanjian Lama, BPK Jakarta, 1963

hal. 205.

67 59 E.M. Foster, Aspect of Novel, 19. dalam J.J.G Jansen Diskursus Tafsir Al-Qur'an Modern. Tiara Wacana-Jogja, th.1997, hal.

68 Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif, Inisiasi Press, th. 2003, hal. 36.


1 komentar:

  1. Bu irene berarti banyak yang ga jelas ya, sampe2 keturunan Muhammad aja dipaksakan ke Ismail..
    bisa ibu berikan silsilah lengkapnya dari Ismail hingga ke Muhammad, apakah dari Kedar atau Nebayot?? atau lagi2 ibu bilang silsilah itu ga penting??

    BalasHapus