Kamis, 20 Agustus 2009

Keith Ellison Anggota Parlemen AS Pertama Beragama Islam


Keith Ellison, warga muslim pertama yang menjadi anggota parlemen Amerika Serikat Kongres, terkenal saleh. Di ruang pribadinya di Longworth House Office Building, tergelar sajadah, sedangkan pada dinding di sudut ruangan lainnya terbentang foto kota Mekah.Lebih dari dua tahun sejak menjadi wakil rakyat di Washington, ide anti perang Ellison tetap ampuh di berbagai agenda politik AS.

Bulan lalu, saat Presiden Obama berpidato di Universitas Cairo, Mesir, mengajak dunia muslim berdamai dengan AS, nama Ellison disebut Obama sebagai simbol persahabatan AS dengan Islam."Ketika orang muslim pertama Amerika terpilih sebagai anggota Kongres, dia bersumpah setia pada konstitusi AS dengan mengangkat Alquran, kita suci yang sama dengan yang disimpan salah seorang Bapak Bangsa kami, Thomas Jefferson, di perpustakaan pribadinya," kata Obama.

Bagi dunia Arab, Ellison adalah simbol bahwa Amerika telah merangkul Islam, sementara untuk muslim Amerika dia adalah teladan politik.Bagi pemilihnya yang kebanyakan kaum liberal perkotaan Minneapollis, Ellison disukai karena pandangan politiknya yang mengusung perdamaian, kesejahteraan pekerja, pelestarian lingkungan, dan perlindungan hak-hak sipil.

Dia meraup 71 persen suara untuk masa jabatan keduanya. Daerah pemilihannya dihuni oleh 77 persen warga kulit putih, 13 persen kulit hitam, 5 persen keturunan Asia, sedangkan penduduk muslim hanya 3 persen. Anggota serikat buruh dan mereka yang bernama kearab-araban adalah penyokong utamanya."Saya muslim afro-amerika, lalu bagaimana bisa saya dipilih oleh kebanyakan orang kulit putih Kristen Lutheran di wilayah saya?" ulangnya

Jawabnya adalah praktik hidup kesehariannya. "Sungguh saya melangkah tanpa perencanaan matang, saya melakukannya begitu saja."Digunakannya naman Ellison oleh Obama dalam rangka diplomasi internasionalnya agak sedikit berbeda dengan kampanye Departemen Luar Negeri di era George W. Bush yang hanya memublikasikan tidak lebih dari empat wawancara dengan Ellison kepada audiens internasonal guna menunjukkan kebhinekaan dan kebebasan beragama di negara itu.

"Saya tak merasa disanjung. Saya hanya berpikir, ya kalau apa yang saya lakukan bisa membantu Anda dalam membuka pintu dengan dunia Muslim, maka saya bahagia bisa melakukannya," kata Ellison.

Dengan tidak ingin terjebak untuk hanya dikenal sebagai orang Muslim pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres.
Omong-omong, kini sudah dua orang muslim menjadi anggota DPR AS, setelah Andre Carson, Demokrat dari Indianapolis terpilih sebagai anggota Kongres tahun lalu.

Ellison menilai perjuangannya adalah memperluas peluang dan ruang gerak seluruh warga Amerika, tidak hanya ditempatkan sebagai orang yang hanya memahami Muslim dan segala hal yang berkaitan dengan Islam."Jika pengetahuan saya mengenai agama dan kepekaan terhadap isu yang berkaitan dengan keyakinan membantu menciptakan pertemanan demi Amerika dan memperpendek jurang diantara kita, mengapa saya tidak menggunakannya?" kata Ellison.

Dibesarkan sebagai seorang penganut Katolik di Detroit, putera pasangan psikiater dan pekerja sosial ini berpindah memeluk Islam pada umur 19 ketika berkuliah di Universitas Negeri Wayne.Tidak ada hal khusus yang mendorongnya masuk Islam, akunya.Dia beraliran Islam sunni dan seperti umumnya muslim, Ellison tidak memakan daging babi dan tidak pula meminum alkohol.

Dia juga rajin shalat lima waktu, dan meski bukan anggota pengurus masjid Washington, jika lagi berada di kota tersebut Allison selalu shalat berjamaah dengan para staf Kongres yang beragama Islam di satu ruangan di Capitol Hill.

Dia dan istrinya Kim, dikaruniai empat anak.Dia lulusan fakultas hukum, Universitas Minnesota, namun setelah tiga tahun bekerja pada satu firma hukum yang berkantor di salah satu gedung pencakar langit di Minneapolis, dia terpanggil untuk berkarya demi keadilan sosial.

Pada tahun-tahun pertamanya menjadi aktivis sosial, dia menilai politisi sebagai objek kepada siapa para aktivis mesti mengkampanyekan perubahan. Lalu, kiprah Paul Wellstone, mendiang senator liberal dari Minnesota, mengubahnya menjadi seperti sekarang ini."Anda perlu pejabat yang benar-benar bekerja secara simpatik untuk memenuhi apa yang diinginkan masyarakat. Paul Wellstone membuatku melihat seseorang berdasarkan upayanya dalam menciptakan dunia yang lebih baik bagi kaum pekerja, warga kulit berwarna, dan semua orang yang terpinggirkan," kata Ellison.

Setelah dua masa menjadi anggota legislatif, Partai Demokrat Minnesota mendukungnya untuk duduk di kursi DPR. Tapi segera setelah itu rahasia masa lalunya terekspos, seperti kasus pajak, dana kampanye, dan tiket parkir. Namun tuduhan paling membahayakan adalah hubungannya dengan tokoh muslim radikal Louis Farrakhan dan Nation of Islam.

Ellison menyangkal itu semua dengan mengatakan dia hanya pernah menghabiskan waktu 18 bulan untuk mengorganisir demonstrasi sejuta umat, Million Man March, pada 1995 di Minnesota.

Dia menulis surat pemintaan maaf kepada komunitas Yahudi karena tidak mencermati kedudukannya dalam Nation of Islam. "Ya memang mereka anti Semit, seharusnya saya sudah menyimpulkan hal itu lebih awal." Kebanyakan masyarakat Yahudi memaafkannya, bahkan sebuah mingguan Yahudi di negara bagian itu mendukungnya maju menjadi wakil rakyat."Nilai dasar yang dia anut sangat merefleksikan orang yang dia wakili dan itu semua diaplikasikan oleh banyak tradisi iman," kata Donna Cassutt, Wakil Ketua Partai Demokrat di negara bagian Minnesota.

Tentu ada orang yang menilainya secara sinis, diantaranya Ron Carey, Ketua DPD Partai Republik."Dia hanya penggembira bagi pandangan sosialis Presiden Obama," kata Carey.Carey juga menyepelekan kemenangan besar yang dicapai Ellison pada pemilu lalu dengan menyatakan itu terjadi karena siapa pun sekarang ini akan memilih tokoh dari Partai Demokrat.ant/kpo

sumber: republika.co.id

Rendra Tertarik dengan Alquran

Penyair adalah jalan hidup. Baik sedang berkarya atau tidak. Seorang penyair masuk dalam konteks realitas karena kepedulian akan panggilan kharismatik dari alam sekitarnya, dari debu, kerikil, lava, angin, pohon, kupu-kupu, margasatwa. Dari yatim piatu, orang-orang papa, lingkungan kampung halamannya, lingkungan bangsanya, lingkungan kemanusiaannya. Ia harus selalu peduli. Tetapi tidak cukup cuma peduli, karena harus dikaitkan dengan perintah dan larangan Allah. Apa pun, termasuk bersyair, harus menjadi ruang ibadah. Harus mengaitkan dengan kehendak Allah. Kita buat, misalnya, sajak mengenai pelacur, mengenai singkong, atau mengenai perahu. Itu juga religius selama dikaitkan dengan meraih kehendak Allah.

Kalimat di atas adalah sepenggal dari pendermaan buah pikir seniman terbaik tahun 60-an, WS Rendra. Baginya, proses kreatif dalam menulis sebuah karya sastra adalah misteri. Dia mengatakan waktu untuk menulis dalam kehidupan hanya 2-3 persen. Beberapa jam selesai. Selebihnya menyiapkan diri untuk hidup secara kreatif, menjaga daya cipta, dan daya hidup.

Si burung merak ini adalah seorang penderma pikiran yang tidak pernah menangis tak kala menghadapi kekuasaan politik. Dia sempat dijebloskan ke penjara pada 1978, dan mendapat represi pelarangan tampil di berbagai tempat.

"Saya menangis untuk masalah-masalah lain. Dulu saya pernah diminta membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis, terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau mengenangkan Asmaul Husna," tutur Rendra saat diwawancara wartawan Republika, Iman Yuniarto F, di kediamannya pada Oktober 2006.

Cahaya Islam dalam Karya Sastra Rendra


Sejak masuk Islam, Rendra mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra mengaku tahu alasan kenapa dia tertarik dengan Islam, tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa memutuskan masuk Islam. "Saya sebetulnya takut sekali terhadap masyarakat Islam. Tapi saya sudah lama tertarik kepada Alquran. Lihat saja. Apa ada kitab suci yang menjelaskan konsep ketuhanannya dalam kalimat yang singkat seperti Alquran?" tanyanya.

Sewaktu Rendra kuliah di Amerika Serikat (kuliah teater), saat itu sedang populer-populernya filsafat eksistensialisme. Kemudian, dia membaca kalimat, Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Rendra terkesan.

Menurutnya, tidak ada kitab suci yang mengatakan bahwa manusia akan selalu merugi dalam perkara waktu. "Lihat. Apa pun bisa kita budayakan, termasuk ruang. Tetapi kita tidak bisa membudayakan waktu. Apa bisa kita menghentikan hari? Dengan teknologi setinggi apa pun, magic setinggi apapun, tidak bisa kita membuat hari Rabu tidak menjadi Kamis. Termasuk saya, tidak bisa menolak kelahiran saya. Saya tidak bisa memilih untuk lahir pada abad ke-22 atau lahir zaman Majapahit," jelasnya.

Menurut Alquran, kita akan selalu merugi soal waktu. Tapi, Alquran juga menyodorkan solusi. Disebutkan hanya orang-orang tertentu yang akan selamat. Yakni yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam kesabaran dan kebenaran. Alquran tidak menyebut yang selamat adalah orang yang Islam, orang yang kaya, orang yang pintar atau orang yang sehat.

Ketika ditanya hubungan antara Islan dan karya sastranya, Rendra menjawab, "Intinya kita berwasiat dalam kebenaran. Mudahan-mudahan."

sumber : republika.co.id

Rabu, 12 Agustus 2009

Irene Handono, Bantahan Mantan Katolik (V.7)

V. KITAB SUCI
Kenapa kalian mengingkari

ayat-ayat Allah...?

BAHASA AL -QUR'AN

Gramatika Arab.

Adalah suatu keganjilan jika 14 abad setelah masa pewahyuan - ketika kefasihan berbahasa Arab oleh pemakainya sendiri tidak seindah dulu-, tiba-tiba ada seorang Amerika (Dr. Robert Morey) -yang tidak menguasai bahasa Arab- mengatakan:

Pertama-tama, AI-Qur'an bukanlah bahasa Arab yang sempurna. AI-Qur'an mengandung banyak sekali kesalahan gramatika seperti dalam surat 2:177 ........ 63

Gramatika Arab pertama kali ditulis secara serius oleh Sibawaih yang asli Persia pada abad ke II H. -1,5 abad setelah al-Qur'an diturttnkan-, setelah sebelumnya pada abad I H. dasar­dasarnya telah diletakkan oleh Abul Aswad ad-Duali. Bagaimana mungkin gramatika Arab menghukumi al-Qur'an sementara penulisan gramatika itu sendiri merujuk kepada bahasa al-Qur'an -selain syair-syair Arab-. Ini kan sama saja dengan mengatakan "berdasarkan air garam yang saya minum, maka air laut man itu kurang asin".

Seperti kata Robert Morey : "Yang lama mencocokkan yang baru".64 Karena nahwu yang datang sesudah al-Qur'an telah mengambil kaidah-kaidah pemakaian bahasa dari Qur'an, maka al-Qur'an lah yang menghukumi nahwu bukan sebaliknya. Ini baru prinsip yang masuk akal. Sedang untuk masalah ajaran agama yang tentunya memuat hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Maka prinsip yang dipakai adalah prinsip hukum yaitu "Yang baru menghapus yang lama".

Satu hal yang perlu kita sadari bahwa gramatika ditulis berdasarkan generalisasi dari seluruh kata yang secara alami telah dipakai oleh suatu komunitas. Dan setiap generalisasi pasti menyisakan `kecuali'. Dalam bahasa Indonesia kalau saya katakan 'mensucikan' tidak akan salah menurut "Kaidah Bahasa Indonesia", karena ada dua kata yang jika terapkan dengan kaidah yang sama maka salah satu maknanya hilang, yaitu: cuci dan suci. Padahal seharusnya huruf pertamanya diganti "ny". Begitu juga bahasa Arab. Bahasa keseharian yang terekam dalam al-Qur'an sudah berlaku sebelum gramatika ditulis. Maka generalisasi dalam pengambilan kaidah bahasa yang datang kemudian akan menyisakan "pengecualian" yang kemudian dikatakan oleh Dr.Robert Morey melanggar tata bahasa.

Kisah-kisah dalam AI-Qur'an

Dr. Robert Morey ingin membabat habis semua kisah dalam al-Qur'an dengan tolak ukur kebenaran Bibel. Sementara otoritas Injil sendiri menyatakan seperti berikut ini:

Dr. Welter Lempp :

"Susunan semesta alam yang diuralkan dalam Kitab Kejadian I tidak dapat dibenarkan lap oleh ilmu pengetahuan modern" (Tafslran Kejadian, hal. 58). "Pandangan kejadian I dan seluruh Injil tentang susunan semesta alam adalah berdasarkan ilmu kosmografi bangsa Babel. Pandangan itu sudah ketinggalan jaman ". 65

Dr. M.r. D. C. Mulder :

“Jadi benarlah Daud itu pengarang Mazmur yang 73 jumlahnya? Hal itu belum tentu. Sudah beberapa kali kita menjumpai gejala bahasa orang Israel suka menggolongkan karangan-karangan di bawah nama orang yang termasyhur... Oleh karena Itu tentu tldak mustahil pengumpulan-pengumpulan mazmur-mazmur itu (atau orang-orang yang hidup lebih kemudian) memakal nama Daud, karena raja itu Termasyhur sebagai pengarang mazmur-mazmur. Dengan lain perkataan, pemakaian nama Daud, Musa, Salomo itu merupakan tradisi kuno, yang patut diperhatikan, tetapi tradisi itu tidak menglkat" 66

Karena otoritas Injil sendiri yang mengatakan seperti di atas maka tentang kisah-kisah dalam al-Qur'an tidak perlu dibandingkan dengan Bibel. Namun ada baiknya kita membahas sedikit tentang kisah-kisah dalam al-Qur'an.

Penyikapan umat Muslim terhadap kisah-kisah dalam al­-Qur'an sangat berbeda dengan tradisi Kristen yang lebih memandang kisah Bibel sebagai kitab Sejarah. Umat muslim lebih memandang kisah tersebut sebagai Ibrah dan cermin untuk kehidupan mereka. Al-Qur'an sendiri selalu menyajikan kisah­kisah dengan cara terpisah. Kisah yang sama kadang diceritakan ulang dengan gaya bahasa dan penekanan yang berbeda. Ketika menceritakan dakwah nabi terdahulu misalnya, disajikan cerita beberapa nabi secara bersamaa, dengan penekanan terhadap peran nabi tersebut. Tentang penolakan kaumnya juga dikisahkan secara bersamaan tapi dengan penekanan pada masalah kaum tersebut. Satu gaya penyampaian yang sangat berbeda dengan kitab lainnya tapi dipahami oleh Dr. Robert Morey sebagai penyajian yang linier.

Dalam penyajian kisah seseorang al-Qur'an tidak menyebut nama secara pasti tapi hanya sebutan, seperti Imratul aziz (istri seorang terhormat-pejabat) untuk menyebut Zulaikha yang adalah istri dari seorang terpandang (pejabat Mesir). Kata "aziz" di atas bukanlah nama asli tapi sebutan seperti kita menyebut kata "terhormat" atau "tuan". Begitu juga Dzul Qornain (yang mempunyai dua tanduk) adapun siapa sebenarnya al-Qur'an tidak menyebutkan. Nama-nama tokoh sering disamarkan apalagi nama tokoh baik yang pernah melakukan kekhilafan seperti Zulaikha yang pernah menggoda Nabi Yusuf. Tapi unmk tokoh penting yang menjadi simbol dari kejahatan dan kebaikan, maka nama itu disebut dengan tegas, seperti Fir'aun, Haman, dan Karun. Nama Fir'aun memang tidak menunjuk satu personal karena Fir'aun adalah sebutan raja-raja Mesir, tapi karena kebanyakan raja-raja mesir kuno menuhankan dirinya maka sebutan umum itu disebutkan dengan tegas. Begitu juga nama­nama nabi dan rasul yang menjadi simbol kebaikan.

Disini kita memahami bahwa bukan nama dan tempat serta waktu dan tanggal juga tahun, tapi ibrah apa yang bisa diambil dari kisah mereka, itulah yang lebih penting. Sebab kisah dan sejarah tidak disajikan hanya sebagai bahan cerita. Penulisan kisah semacam inilah yang mestinya dilakukan penulis sejarah ketika mencatat peristiwa-peristiwa sejarah. Penulisan sejarah yang hanya ditujukan menyalahkan seseorang atau suatu rezim akan menyulut kejadian yang sama. Maka sejarah kelam sering terulang karena sejarah ditulis untuk balas dendam.

Susunan al-Qur'an

Hadits Nabi yang menyatakan "Al-Qur'an hanya bisa dipahami secara mendalam setelah memandang berbagai seginya" (al-Hadits). Seperti yang dikutip oleh Muhammad Arkoun dalam kajian ulum Qur'an-nya.

Jika ada yang mengeluh kesusahan memilah ayat untuk mencari membahas satu tema, saat ini sudah banyak sarana mencarinya. Tapi melihat al-Qur'an dengan cara memilah-milah saja akan menghilangkan banyak makna. Coba anda bayangkan jika seseorang hanya mengambil ayat jihad saja. Atau sebaliknya ayat-ayat kasih sayang saja. Jika kita kembali pada konsep tauhid dan konsep kemasyarakatan yang tertulis dalam ketiga kitab, seperti yang disampaikan al-Qur'an. Satu konsep tauhid, dan dua konsep kemasyarakatan. Dua konsep kemasyarakatan yang dijabarkan oleh masing-masing rasul, yaitu kasih sayang dan keadilan. Konsep kasih sayang digambarkan dengan mengasihi fakir miskin, yatim piatu, orang tertindas, musafir dll. Serta konsep keadilan yang digambarkan dengan ‘Qisas', nyawa dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, gigi dengan gigi, luka ringan dengan luka ringan (mohon tidak dicampur dengan pandangan praktisnya); bukankah konsep kedua ini menggambarkan rasa keadilan yang paling mendasar, Kesalahan berat diganjar berat, ringan diganjar ringan. Bukan berat diganjar ringan karena seorang tokoh, dan ringan diganjar berat karena rakyat jelata.

Satu konsep tauhid dan dua konsep kemasyarakatan untuk dua makhluq dari dua dimensi berbeda -materi dan non-materi­yaitu manusia dan jin. Semua itu disajikan oleh al-Qur'an dalam satu kesatuan, dan bukan dipisah. Sebab jika dipahami terpisah pasti akan ada yang ditinggalkan. Jika dipisah maka keseimbangan akan goyah. Kita tidak bisa menyalahkan rakyat palestina karena memang mereka sedang ditekan, secara mental dan fisik-telpon saja tidak bisa keluar dari wilayahnya-. Justru salah kalau mereka hanya menerapkan prinsip kasih sayang saja, sementara prinsip keadilan tidak ditegakkan. Born bunuh diri yang mereka lakukan lebih merefleksikan kondisi ketertindasan mereka dari pada sekedar ajaran-seperti yang sering dituduhkan selama ini-. Dunia barat sudah kehilangan keseimbangan akal dan perasaannya hingga tidak mampu melihat gajah dipelupuk matanya. Mereka menindas seenaknya kemudian menimpakan kesalahan pada orang yang ditindas ?

Kembali pada susunan al-Qur'an juga harus dilihat sama seperti melihat isinya. Ajaran yang sangat membutuhkan keseimbangan juga harus disampaikan dengan cara yang seimbang. Kita tidak bisa melihatnya dengan kaca mata kita yang suka melihat sesuatu menurut kehendak kita. Melihat susunan al-Qur'an secara parsial seakan kita memilah warna dari sekian banyak susunan bangunan yang berwarna pelangi. Kita kadang menginginkan yang merah saja, atau hijau saja tanpa memperhatikan bahwa kombinasi dari semuanya adalah keindahan. Yang jika dipisah maka hanya ada hamparan menjemukan seperti padang pasir dan lautan. Bahkan lautan pun dihiasi pelangi dan hamparan pasir dihiasi fatamorgana. Kita kadang harus memperhatikan para seniman dan sastrawan yang lebih bisa melihat keindahan hidup tanpa batasan teori yang kadang menghilangkan prinsip keseimbangan.

Novelis Inggris E.M. Foster dalam karyanya Aspects of the Novel mengejek upaya-upaya klasifikasi dalam melihat perkembangan sastra seraya menyatakan hal itu sebagai upaya pseudo-ilmiah (pseudo-scientific). Klasifikasi secara kronologis ataupun kecendrungan -tematis.67 Cara pandang Foster tersebut mungkin layak untuk kita terapkan dalam melihat susunan dan gaya bahasa al-Qur'an. Melihat susunan al-Qur'an yang dilandasi pemikiran parsial, tidak dapat menangkap sisi keindahan dari prinsip keseimbangan.

Coba kita telaah sekilas, Al-Qur'an yang dimulai dengan al-Fatihah dan di akhiri dengan an-Nas. Jika Al-fatihah disebut sebagai ummul kitab, hal itu tidak lah terlalu berlebihan, sebab disitulah inti ajaran tauhid. Setelah mengagungkan nama Allah kemudian menyatakan bahwa hanya kepada-Nya-lah menyembah dan memohon. Setelah itu memohon jalan orang­orang yang telah selamat memegang konsep dasar tauhid, jalan orang-orang yang mendapat ni'mat. Kemudian memohon agar terhindar dari kesalahan mereka yang telah menentang dan menghapuskan konsep itu.

Konsep tauhid ini kemudian mewarnai semua surat. Dalam setiap pembahasan baik ibadah dan kehidupan sosial selalu dikaitkan dengan Tauhid. Interaksi fertikal dan horizontal yang disimbolkan dengan "hamba" dan "khalifah" dalam dua dimensi kehidupan -materi dan nonmateri-, selalu ada dalam setiap surat. Bukankah itu suatu keseimbangan yang jika diubah maka keseimbangan itu akan hilang dan kehilangan ciri khasnya. Meninggalkan satu dimensi saja seseorang sudah tidak seimbang, kemudian mengatakan bahwa redaksi al-Qur'an melayang­layang. Dimensi non materi inilah yang sering dilupakan masyarakat modern, yang padahal mereka seringkali membuktikan keberadaannya, melalui kemajuan teknologi. Tidakkah kita melihat dalam dimensi non-materi seseorang bisa melakukan kontak tanpa media materi, kini hal itu dapat dinikmati orang banyak dengan adanya Handphone.

Setelah dua tujuan dalam dua dimensi itu disajikan, kemudian dalam surat-surat terakhir mu'awidzatain, konsep tauhid itu dinyatakan dengan sangat tegas lagi. Allah hanya Satu dan Allah lah tempat memohon -lihat makna ini dalam al­fatihah-. Lantas ditutup dengan permohonan agar keimanan diselamatkan dari gangguan makhluq dari dimensi non-materi, dan makhluq dari dimensi materi. Gangguan dari dimensi nonmateri mungkin tidak bisa diindera oleh manusia tapi bisa dirasakan, sedang yang dari dimensi materi/manusia kita bisa melihat dan mendengar (tayangan yang mencerminkan hedonisme -misalnya), membaca (Buku Islamic Invasion - contohnya), bahkan merasakan (gangguan fisik seperti yang dialami rakyat Palestina).

Secara Umum tidakkah itu merupakan suatu susunan yang indah dan sangat baligh-menurut istilah retorika Arab. Dimulai dari prinsip pokok yang singkat lalu dijabarkan kemudian ditutup dengan penekanan pada prinsip pokok yang disampaikan. Sehingga penekauannya lebih terlihat. Tidakkah kita melihat jika kita ingin menyampaikan sesuatu nasehat kepada anak misalnya : "Nak belajar lah", kemudian kita memberikan banyak alasan bahkan contoh dari orang-orang yang berhasil dan gagal, kemudian terakhir kita menekankan, ‘Jadi ingat ya, BELAJAR". Bukankan itu cara penyampaian yang tidak hanya bagus tapi tepat dan mendidik. Tidak otoriter, tapi dengan alasan dan ada penekanan di akhir. Itulah gaya al-Qur'an semua disertai dengan bukti, baik tertulis maupun contoh nyata kehidupan. Inilah gaya penulisan untuk mengungkap misteri kehidupan dari manusia yang suka memandang sesuatu sesuai yang diingini. Sehingga tidak bisa melihat sisi keseimbangan yang bahkan kita lihat dalam kehidupan nyata. Suatu saat mungkin orang mulai menggunakan cara-cara penulisan seperti yang dicontohkan al-Qur'an.

Coba kita renungkan berapa buku yang bisa bertahan lebih dari dua tiga kali baca secara lengkap? sebab ketika membaca yang kedua kita merasa sudah tahu isi dan maksud seperti judulnya kemudian bosan. Tapi al-Qur'an, tiap hari dibaca tanpa ada kejenuhan sedikitpun. Setiap kali dibaca kita menangkap satu pengertian yang tidak kita tangkap sebelumnya. Dalam situasi kejiwaan yang mandeg dan jumud kadang kita menangkap makna isyarat yang menjadi kata penentu dari sikap yang harus diambil. Dalam menghadapi situasi yang rumit dan seakan tak ada solusi kita menemukan kata kunci dari permasalahan yang dihadapi. Kita bahkan merasakan seakan setiap ayat berdiri sendiri jalin jalin menjalin dengan ayat lain, bahkan setiap kata kalau kita melihat rinci, masing-masing memiliki perannya. Sangat berbeda dengan tulisan manusia yang kadang menggunakan kata seenaknya, sehingga ada istilah kata sisipan yang kalau dihapus tidak berpengaruh pada yang lain.

Gothe menyatakan dalam Noten und Abhandlungen :

"Gaya bahasa al-Qur'an adalah, sesuai dengan isi dan tujuan-tujuannya, bersifat agung, mengagumkan, dan dalam beberapa tempat benar-benar sublim"..68

NOTES

63 Robert Morey, op. cit., ha1.139

64 ibid.) 159

65 Tafsiran Kejadian, hal. 65.

66 pembimbing ke da'am Perjanjian Lama, BPK Jakarta, 1963

hal. 205.

67 59 E.M. Foster, Aspect of Novel, 19. dalam J.J.G Jansen Diskursus Tafsir Al-Qur'an Modern. Tiara Wacana-Jogja, th.1997, hal.

68 Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif, Inisiasi Press, th. 2003, hal. 36.


Irene Handono, Bantahan Mantan Katolik (V.6)

V. KITAB SUCI
Kenapa kalian mengingkari

ayat-ayat Allah...?

BAHASA AL -QUR'AN

Nasakh Dalam al-Qur'an

Kata nasakh memiliki makna : penghapusan, penggantian, pengalihan, atau penyalinan. dalam pengertian agama: “penghapusan hukum syar'i dengan dalil-dalil syar'i", (syar'i yang dimaksud adalah yang bersumber dari Qur'an dan hadits sebagian membolehkan dari Qiyas dan Ijma'), devinisi yang banyak dipakai oleh ulama. 57

Nasakh dalam al-Qur'an berarti : Penghapusan ayat baik tulisan maupun hukumnya, atau hukumnya saja; karena datangnya ayat yang kemudian. Kenyataan ini ditegaskan oleh al-Qur'an sendiri juga hadits Rasulullah.

Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-ada saja". Bahkan, kebanyakan mereka itu tidak mengetahui (QS. An-Nahl 101).

..berkata Abu al-'ala' bin asy-Syikhkhir: "Hadits Rasuslullah me-nasakh sebagian atas sebagian yang lain, sebagaimana ayat Qur'an yang me-nasakh sebagian atas sebagian lainnya " (HR. Muslim).

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, bahwa al-Qur'an diturunkan ayat per-ayat, surat per-surat hingga akhir masa kenabian. Ini berarti masing-masing ayat atau surat yang diturunkan memiliki perannya sendiri dalam perjalanan dakwah Rasulullah, baik dalam dakwah utamanya mengajak kepada Tauhid maupun dalam usaha pembenahan kehidupan sosial masyarakatnya. Mengubah suatu tatanan masyarakat tentulah tidak mudah. Itulah sebabnya maka adanya nasakh memberi hikmah yang sangat sesuai dengan metode pentahapan yang dilakukanan oleh Rasulullah dalam dakwahnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Qur'an -yang artinya-:

Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 106).

Ketika suatu tahapan sudah terlampaui maka diturunkan ayat lain untuk masuk dalam tahapan berikutnya. Dan terbukti Rasulullah Saw telah berhasil melakukan suatu perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan umatnya, dalam waktu 23 tahun. Sebagai contoh -dalam penanganan penyakit sosial berupa perzinaan- dalam surat an-Nisa' ayat 15 yang menjelaskan tentang hukuman kurungan kepada istri-istri yang selingkuh. Ketetapan ini kemudian dinasakh dengan ketentuan hukuman yang lebih berat, yakni hukuman cambuk 100 kali (QS. Al-Nur:2). Setidaknya ini adalah salah satu hikmah dari adanya nasakh. Dengan tetap ditulisnya kedua ayat -dalam contoh di atas- di dalam Qur'an setidaknya membuktikan kejujuran Rasulullah clan para sahabatnya untuk tetap menyajikan apa adanya dari semua wahyu yang diturunkan. Jika benar tuduhan Robert Morey bahwa sahabat Utsman menghilangkan 127 ayat demi alasan politik48, mengapa tidak dihilangkan salah satu dari kedua ayat di atas, dengan mengambil ketetapan hukuman yang ringan atau yang berat sesuai kondisi sosial politik masa itu. Toh ternyata hal itu tidak dilakukan oleh mereka.

Nasakh yang ada dalam tradisi Islam khususnya dalam penyikapan terhadap al-Qur'an sangat berbeda dengan tradisi Kristen dalam menyikapi Injil. Nasakh yang ada dalam al-Qur'an tidak sampai ditambahi atau dikurangi oleh para pengikutnya seperti yang dilakukan oleh umat kristen. Lihat contoh dalam bahasan masalah variasi bacaan di atas, pihak Gereja terpaksa menambah kata dalam suatu ayat demi memaksakan suatu doktrin yang tidak masuk akal, atau untuk menghalalkan sesuatu yang disukai oleh umatnya untuk mempertahankan jumlah jema'at.

Terjemah al-Qur'an.

Menerjemahkan al-Qur'an atau teks apapun kedalam bahasa lain tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya adalah mustahil, belum lagi masalah estetikanya. Karena setiap bahasa memiliki ciri khas pengungkapan tersendiri. Sebagai contoh masyarakat Arab memiliki sekian banyak perbendaharaan kata dalam masalah unta karena memang tempatnya. Bahasa Indonesia kaya dengan kosa kata untuk menunjukkan makna padi karena memang berbudaya agraris. Bahasa Arab tidak memiliki satu persatu padan kata untuk kata : gabah, padi, beras, nasi; yang ada hanya ar-ruzuntuk keempat kata dalam bahasa Indonesia di atas. Begitu juga sebaliknya.

Sebagian ulama menempatkan terjemah al-Qur'an sebagai tafsir (interpretasi). Tapi mayoritas sepakat bahwa otoritas tetap Pada teks dengan bahasa aslinya. Sebab ketika seorang penerjemah mengartikan suatu kalimat, secara tidak langsung dia telah menetapkan bahwa itu adalah makna dari kalimat dalam teks aslinya. Sedang penerjemah lain bisa saja menulis makna lain sesuai pemahamannya. Oleh sebab itu al-Qur'an terjemah tidak seotoritatif al-Qur'an dengan bahasa aslinya. Maka dalam setiap terjemah al-Qur'an selalu disertakan teks aslinya sehingga pembacanya bisa langsung merujuk kepada teks asli tersebut. Upaya tersebut bukanlah pengekangan atau klaim bahwa al-Qur'an tidak dapat diterjemahkan, namun lebih merupakan kebijakan yang jenius dan sesuai dengan semangat penjagaan al-Qur'an yang telah dilakukan selama empat belas abad. Lain dari pada itu ritual ibadah dalam Islam juga menggunakan al-Qur'an dan bahasa Arab.

Buku Islamic Invasion seringkali menampilkan terjemahan dari ayat-ayat al-Qur'an yang kemudian dengan membandingkan hasil penerjemahan tersebut ia mengambil kesimpulan adanya pertentangan internal dalam al-Qur'an.58 Pandangan semacam ini tentu saja tidak lepas dari tradisi dikalangan Kristen yang tidak memandang adanya perbedaan antara teks asli dan terjemahan sebab mereka tidak memiliki teks yang asli ditulis pada masa kenabian. Umat Kristiani mengambil sepenuhnya dari Injil dalam bahasa apapun tanpa langsung merujuk kepada teks yang tertua. Teks tertua Bibel tidak pernah dimuat bersamaan dengan terjemahnya, seperti yang dilakukan umat Muslim ketika menerjemahkan al-Qur'an. Oleh sebab itu ketika terjadi perbedaan makna terjemahan umat Muslim dapat langsung merujuk kepada teks aslinya. Dengan demikian otoritas utama tetap pada teks aslinya, dan terjemah hanya berperan menjelaskan tanpa mempunyai otoritas seperti aslinya.

Sebagai perbandingan agaknya kita perlu menyimak pernyataan J.J.G. Jansen, dalam disertasi doktornya di Rijk suniversitiet Leiden tahun 1972, seorang yang memiliki otoritas dalam bidang al-Qur'an dikalangan Orientais, ia mengatakan :

Dibandingkan dengan kalangan Kristen, khotbah­khotbah -yang kadang-kadang mendatangkan perbaikan luar biasa-, yang didasarkan pada pengembangan yang cerdas dan kebetulan terhadap penyusunan terjemahan Injil, kadang sangat berlawanan dengan makna teks aslinya. Seseorang tidak bisa tidak kecuali memuji sikap Muslim terhadap masalah ini.59

Berdasar pernyataan di atas tradisi penyikapan wahyu dikalangan Muslim sangat berbeda dengan penyikapan umat Kristen. Pengembangan yang tentunya memuat perubahan yang bahkan sampai berlawanan dengan makna teks aslinya, dianggap sebagai kreatifitas yang cerdas. Sementara tradisi Islam sejak masa Rasulullah hingga saat ini melarang perubahan dalam bentuk apapun terhadap teks al-Qur'an. Sebab umat Muslim tidak perlu menyesuaikan teks al-Qur'an dengan perkembangan zaman karena memang tidak bertentangan.

Itulah sebabnya sangat sulit diterima jika ada ungkapan bernada mempertanyakan keaslian teks al-Qur'an sementara pernyataan itu keluar dari mereka yang dengan bangga telah merubah kitabnya sendiri. Pihak Gereja -yang berwenang atas terjemah Injil- boleh saja berkilah bahwa itu tidak merubah, tapi menerjemahkan. Tapi siapapun maklum bahwa ketika teks terjemah tidak disertai teks aslinya, maka umat yang memakainya tentu menjadikan terjemah tersebut sebagai satu­satunya sumber. Ketika otoritas terjemah dianggap sama dengan aslinya, maka perubahan terjemah akan merubah hukum ajaran yang dianut. Jika pada tahun 1976 umat kristen, dilarang makan babi. Maka setelah tahun 1999 mereka boleh memakannya, karena yang dilarang adalah babi hutan. Bagaimana jika pada tahun mendatang kecendrungan masyarakat akan konsumsi makanan berubah lagi. Semacam inilah yang termasuk dalam peringatan al-Qur'an, agar manusia tidak merubah ayat-ayat yang diturunkan kepada mereka.

Keindahan Bahasa AI-Qur'an

Masyarakat Arab pada masa turunnya wahyu adalah Inasyarakat yang sangat mengagungkan bahasa. Syair-syair yang muncul dikalangan mereka selalu membawa pengaruh sosial dan politik pada masa itu. Kemunculan Rasulullah Saw dengan ajaran yang baru dan sangat bertentangan dengan paham yang ada tentulah mengundang penentangan yang hebat, bahkan mengancam nyawa beliau. Sebagaimana Nabi-nabi lain yang telah terdahulu, setiap nabi dibekali dengan mukjizat yang dapat menaklukkan penentangan kaumnya sehingga mereka mempercayai risalah yang dibawanya. Jika Nabi Musa yang berhadapan dengan Fir'aun dan bala tentaranya - yang terkenal dengan kehebatan magic - dibekali dengan mukjizat yang dapat menandingi sihir, maka Rasulullah Muhammad Saw. yang berhadapan dengan masyarakat yang sangat mengagumi keindahan bahasa dibekali oleh dengan Mukjizat al-Qur'an yang disampaikan dengan keindahan bahasa yang dapat menandingi kemampuan masyarakat Arab saat itu.

Keindahan gaya bahasa al-Qur'an terbukti telah menunjukkan keampuhan perannya sebagai mukjizat bagi keberhasilan dakwah Rasulullah Saw. Banyak sekali riwayat yang menyatakan bagaimana sebagian masyarakat Arab pada awal dakwah Islam dengan serta merta mengakui kenabian Muhammad Saw hanya setelah mendengar ayat-ayat Qur'an. Berikut ini kami kemukakan riwayat Umar bin Khattab yang masuk Islam setelah mendengar ayat yang dibaca oleh Rasulullah Saw.

...berkata Umar bin Khattab : "Saya keluar untuk menemui Rasulullah Saw. (saat itu) saya belum masuk Islam. Saya mendapatkannya telah mendahului masuk masjid maka saya berdiri dibelakangnya, kemudian (Rasulullah) memembaca surat al-haqah maka saya terkagum-kagum dengan susunan (gaya bahasa) al-Qur'an ". (Umar) berkata : Maka saya mengatakan : "Ini adalah penyair seperti yang dikatakan oleh (kaum) Qurays". (kemudian Umar) mengatakan : "Maka (Rasulullah Saw.) membaca (ayat yang artinya) (Sesungguhnya al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.]. Umar berkata: "Saya mengatakan (ini perkataan) peramal. Rasulullah mengatakan (menyebut ayat yang artinya) [Dan hukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. la adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. ] hingga akhir surat. Umar berkata : "maka menetaplah Islam dalam hatiku sedalarn-dalamnya. (HR. Imam Ahmad).

Sahabat Umar bukanlah seorang yang bodoh. Beliau adalah seorang yang sangat berani dan kritis dengan kemampuan berbahasa yang tinggi. Masih banyak lagi riwayat keislaman masyarakat Arab karena kekaguman mereka terhadap gaya bahasa al-Qur'an.

Keindahan bahasa al-Qur'an baik dalam pemakaian kata maupun penyusunannya, diakui oleh masyarakat Arab sendiri sejak awal mula diturunkan hingga saat ini. Gaya bahasa yang sangat indah dari AI-Qur'an sekaligus menafikan adanya campur tangan manusia di dalamnya termasuk Rasulullah Saw. Pernyataan Robert Morey seperti berikut ini :

Ceceran sidik-jari tangan Muhammad dapat dilihat pada setiap halaman al-Qur'an sebagai saksi bahwa asal al-Qur'an tidak murni dari Allah. 60

Adalah pernyataan tanpa dasar. Setidaknya ada dua hal Yang perlu kita perhatikan dalam masalah ini yaitu :

Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang turun secara spontan. Dan tidak dapat disangkal bahwa redaksi yang disusun seseorang secara spontan, pasti mutunya lebih rendah dari yang disusun dengan berpikir lebih dahulu. Tetapi para kritikus bahasa - setelah membandingkan ucapan Nabi Muhammad Saw dengan ayat-ayat Qur'an - mengakui bahwa keindahan bahasa Al-Qur'an lauh melebihi keindahan bahasa Nabi Muhammad Saw. Kalau bukan dari Allah mana mungkin yang spontan lebih baik dari yang dipikir lebih dahulu (lihat riwayat di atas).61

Pakar-pakar bahasa mengakui bahwa setiap orang mempunyai gaya bahasa tersendiri yang merupakan ciri khas masing-masing. Amat sulit bagi seseorang -kalau enggan berkata mustahil- untuk memiliki dua gaya bahasa yang berbeda. Jika anda membandingkan gaya bahasa al-Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka anda akan menemukan suatu perbedaan yang menonjol.62

NOTES

57 Zarqani, Manahil al-`Irfan fi Ulum al-Qur'an, Isa al-baby al­halaby wa syurakah, II/175-176.

58 Robert Morey, op. cit., hall42

59 J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qoran in Modern Egypt. Terjemah. Diskursus Tafsir Al-Qur'an Modern, Hairussalim, Syarif Hidayatullah. PT. Tiara Wacana, Jogja, tahun :1997, hal.l7.

60. Robert Morey, op. cit., hal. 54

61 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur'an, Penerbit Mizan, Bandung, 2003, hal. 85

62 ibid. 85-86

Irene Handono, Bantahan Mantan Katolik (V.5)

V. KITAB SUCI
Kenapa kalian mengingkari

ayat-ayat Allah...?

BAHASA AL -QUR'AN

Allah Swt. telah menyatakan dalam al-Qur'an bahwa bahasa yang dipergunakan dalam pewahyuan adalah bahasa Arab (bilisanin 'arabiyyin mubiin) dengan bahasa Arab yang jelas. Lebih spesifik lagi riwayat Imam Bukhari tentang kodifikasi wahyu masa Utsman menyebutkan bahwa al-Qur'an ditulis dengan bahasa Arab Quraisy yang merupakan bahasa utama dikalangan suku-suku di Jazirah Arab. Tampilnya bahasa Quraisy, sebagai bahasa utama tidak terlepas dari keberadaan suku tersebut yang lebih dominan dalam kancah perdagangan dan posisi strategisnya yang ditempati Ka'bah, dimana ka'bah menjadi pusat kegiatan ritual kepercayaan mereka menjelang datangnya Islam.

Rasulullah dilahirkan di kalangan Suku Quraisybahkan dari klan terpandang yaitu Bani Hasyim dan tentunya bahasa keseharian beliau adalah bahasa Arab Quraisy. Walaupun pada dasarnya beliau mengusai dialek-dialek lain karena dibesarkan di Bani Saad yang oleh masyarakat Arab dikenal sebagai suku Paling fasih dalam berbahasa. Jika kemudian ketika beliau mendapatkan wahyu dari Allah Swt. dalam bahasa Arab, adalah suatu hal yang sangat wajar melihat latar belakang bahasa beliau. Justru tidak logis kalau al-Qur'an menggunakan bahasa lain yang tidak dipahami masyarakat Arab.

Kenyataan bahwa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab hendaknya dijadikan acuan para pengkaji Al-Qur'an sehingga kesalah pahaman dapat sedikit mungkin dihindari. Mengindahkan kenyataan di atas sama saja dengan mengesampingkan dan menutup-nutupi fakta.

Penelitian yang dilakukan oleh orientalis Jerman dengan nama samaran Christhop Luxemberg agaknya mengesampingkan kenyataan bahwa al-Qur'an disampaikan dengan bahasa Arab.50 Dan sudah maklum bahwa masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad Saw. pada awal masa dakwahnya adalah masyarakatnya sendiri yaitu masyarakat Arab dan yang paling dekat Quraisy. Oleh sebab itu untuk mendapatkan makna yang tepat dari al-Qur'an seorang pengkaji mestinya merujuk kepada bahasa Arab yang berlaku saat itu, atau minimal yang mendekati masa itu. Itulah sebabnya para ulama seringkali merujuk kepada syair-syair jahili karena lebih dapat menjelaskan pemakaian kata pada masa itu.

Kesamaan kata dalam bahasa serumpun bukan menjadi alasan untuk membacanya dengan bahasa tersebut karena memiliki makna yang berbeda. Sebagai contoh misalkan dalam buku yang ada ditangan anda kali ini, katakan kami menulis kata "Dewan Perwakilan Rakyat" untuk menyebut sebuah lembaga tinggi negara kita. Kata itu kemudian diperinci dan diruntut ke bahasa aslinya yang tentunya dari bahasa Arab. Kata pertama ketika dirujuk ke bahasa aslinya memiliki makna : daftar, tempat penulis, dan kumpulan syair. Setelah melihat makna yang diingini kemudian kata "Dewan Perwakilan Rakyat" diartikan sebagai `daftar perwakilan rakyat'.

Antara dialek satu dengan lain dalam satu bahasa saja kadang memiliki makna yang berbeda apalagi bahasa serumpun. Kata "kereta" misalnya di Jawa dipahami sebagai kendaraan yang ditarik oleh kuda, tapi di Medan dipahami sebagai sepeda motor, kata yang sama dengan dua makna di dua tempat yang berbeda. Tapi jika tulisan yang memakai kata "kereta" tersebut ditulis oleh orang Jawa maka tidak mungkin di pahami sebagai sepeda motor, kecuali penulisnya mengisyaratkan demikian.

Kenapa Bahasa Quraisy

Penggunaan bahasa Arab dengan dialek Quraisy dijadikan alasan oleh Dr. Robert morey untuk mengatakan bahwa al-Qur'an adalah karangan Nabi Muhammad Saw seperti berikut ini :

Umat Muslim menyatakan ba hwa AI-Qur'an "difurunkan" dari surga dan bahwa Muhammad fidak dapat dipandang sebagai penyusunnya. Tetapi menuruf Concise Encyclopedia of Islam, bahasa Arab yang dipakai dalam AI-Qur'an itu merupakan suatu dialek kosakafa dari salah seorang anggota suku Quraisy yang finggal di kota Makkah. Jadi sidik jari Muhammad fercecer di seluruh AI-Qur'an.51

Pernyataan seperti di atas hanya pantas diucapkan oleh seorang yang tidak memiliki nabi. Bukankah nabi dari pembuat pernyataan tersebut menerima wahyu dalam bahasanya sendiri? Ungkapan balik semacam ini tidak berguna sebab yang mempertanyakan memang tidak punya nabi/rasul sebab sudah dilantik Paulus menjadi tuhan.

Umat Kristen yang mengakui Injil tentu mengakui Taurat, yang tentunya mengakui adanya wahyu yang berbahasa Ibrani tersebut. Kenapa harus berbahasa Ibrani? Pertanyaan yang sama : "Kenapa harus berbahasa Quraisy ?". Semua wahyu yang berasal dari Allah tentu saja boleh dikatakan Surgawi - untuk menyatakan wahyu itu berasal dari yang Kuasa-, wahyu tersebut disampaikan kepada masing-masing rasul dengan bahasa umat mereka. Kalau umat Muslim diberi wahyu berbahasa Ibrani tentu saja tidak akan paham, kalau tidak dipahami apa fungsinya wahyu ?. Taurat sendiri dalam kitab Ulangan :18 :18 menubuatkan kemunculan Muhammad, yang bahkan menerangkan bagaimana proses pewahyuan itu dilakukan. Lihat bab. Wahyu dan pewahyuan.

Majaz (Metafora)

Interpretasi terhadap sebuah teks dalam bahasa apapun dibutuhkan kemampuan bahasa yang baik, agar sebisa mungkin terhindar dari misinterpretasi, apalagi terhadap teks semacam Qur'an yang menjadi sumber utama ajaran Islam. Dalam tradisi keilmuan Islam untuk menjadi seorang mufassir (interpretator) syarat kemampuan yang harus dimiliki amat ketat. Selain kemampuan bahasa dengan segala cabang keilmuannya seperti gramatika, retorika; juga diperlukan ilmu-ilmu pendukung lain seperti Hadits dan Mushthalah al-Hadits, Fiqh dan Maqasid as. Syar' dan yang tidak kalah penting adalah Ulum al-Qur'an, Tajwid, Qiroat, juga ilmu-ilmu pendukung lain.

Majaz yang merupakan salah satu bahasan dalam retorika bahasa Arab, tentu tidak bisa diabaikan dalam memahami makna teks al-Qur'an. Apalagi bahwa majaz adalah gejala bahasa yang

lazim dikenal oleh pengguna bahasa manapun. Dua kata metaforis dalam Qur'an -telah dipahami salah oleh Dr.Robert Morey. la sendiri mengakui telah menerjemahkan secara literal. Berikut ini kutipan dari pernyataannya tentang rasisme :

Menuruf terjemahan bahasa Arab secara literal dari Surat 3:106-107, pada Hari Penghakiman, hanya orang-orang dengan wajah pufih yang diselamatkan. Orang-orang dengan wajah hitam akan dihukum. Ini merupakan rasisme dalam bentuknya yang paling jelek. 52

Kata hitam dan putih dengan makna metaforisnya "susah" dan "senang" hingga saat ini masih dipakai dalam bahasa keseharian masyarakat Arab. Mereka sering menggunakan kata khabar aswad (literalnya- kabar hitam) untuk menyatakan berita/keadaan yang tidak menyenangkan, dan khabar abyadl (literalnya-kabar putih) untuk mengungkapkan makna berita/keadaan gembira. Memaknai dua kata dalam ayat yang dimaksud Robert Morey, akan terdengar lucu jika dimaknai secara literal, sehingga terkesan adanya unsur kesengajaan, demi menuduh adanya rasisme dalam Islam.

Dengan memperhatikan kebiasaan masyarakat Arab dalam mengungkapkan makna senang dan sedih seperti contoh di atas, pembaca akan segera tahu apa yang dimaksud oleh Qur'an dengan wajah putih dan hitam. Makna wajah putih dalam ayat tersebut adalah wajah yang gembira karena selamat dalam penghakiman (hisab) sedang yang kedua adalah wajah yang sedih karena tidak selamat dan akan dihukum. Dan itu bisa terjadi atas siapa saja, termasuk mereka yang terlalu bangga dengan ras kulit putihnya. Jika hanya hitam dan putih saja yang masuk penghakiman, maka berbahagialah orang Indonesia yang berkulit coklat sawo matang.

Kata Asing Dalam Qur'an

Masyarakat Arab yang mendapat kehormatan karena bahasanya menjadi bahasa perantara wahyu melalui Nabi Muhammad, adalah masyarakat pedagang. Tanah yang gersang dan tandus -khususnya di Makkah- menjauhkan mereka dari kehidupan agraris. Sebagai pedagang berkeliling mencari clan menawarkan barang dagangan adalah keharusan. Melalui kegiatan ini interaksi dengan bangsa lain dilakukan, dan lewat jalan ini pula kegiatan dakwah Islam sering mereka lakukan.

Interaksi masyarakat Arab dengan bangsa lain jelas akan mempengaruhi bahasa mereka. Pada masa Rasulullah -saat wahyu diturunkan- beberapa kata asing sudah masuk ke dalam bahasa Arab. Kata yang masuk ke dalam bahasa komunikasi mereka kadang dipakai apa adanya kadang mereka carikan padan katanya, ini lah yang mereka sebut at- Ta'rib yaitu upaya mewujudkan kata dalam bahasa Arab untuk istilah clan ungkapan dari kata asing yang mereka adobsi. Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, dan merupakan gejala yang sangat wajar dalam dinamika suatu bahasa.

Dalam kajian ulumul Qur'an banyak ulama yang membahas masalah ini diantaranya adalah Imam Suyuthi dalam bukunya al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an. Namun demikian sangatlah salah jika Robert Morey menyatakan bahwa masuknya bahasa asing dalam al-Qur'an dikatakan "kecolongan”53 apalagi jika alasan tersebut dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ajaran al-Qur'an dari bangsa asing. Bahasa asing yang masuk dalam bahasa al-Qur'an adalah bahasa asing yang sudah diadopsi bahasa Arab. Karena al-Qur'an diturunkan dengan memakai bahasa Arab, maka sudah pasti al-Qur'an menggunakan kata clan istilah yang dipakai oleh masyarakat saat itu. Justru kalau al-Qur'an memakai bahasa yang tidak dipahami oleh bangsa Arab maka proses dakwah akan terganjal, karena bahasa perantaranya tidak dipahami, yang pada gilirannya wahyu tidak berfungsi Ambil contoh misalnya dalam pengajaran komputer. Karena banyak istilah komputer sudah diadopsi oleh bahasa Indonesia, maka akan mudah jika mengajarkannya dengan memakai istilah­istilah asing tersebut dari pada memberikan padan katanya dalam bahasa Indonesia. Tapi tidak ada yang mengatakan bahwa anda mengajar komputer dengan bahasa Inggris. Sama seperti buku yang ada di tangan pembaca, walaupun bahasa Indonesia mengadopsi banyak bahasa asing tapi tidak ada yang mengatakan bahwa buku ini ditulis dengan bahasa asing.

Variasi Bacaan al-Qur'an.

Sejak masa diturunkan al-Qur'an variasi bacaan sudah ada bahkan Rasulullah sendiri menyatakan hal itu. Namun demikian bukan berarti umat Muslim boleh membaca seenaknya sesuai dialek dan kemauan mereka. Variasi bacaan tersebut telah ditetapkan sejak masa Rasulullah sehingga umat Muslim mendapatkan keleluasaan dalam memahami teks al-Qur'an dengan tetap memperhatikan bacaan yang sudah di akui kebenarannya oleh Rasulullah sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam riwayat berikut ini :

Pertama :

...dari Ubay bin Ka'b mengatakan : Rasulullah bertemu dengan Jibril, maka beliau berkata : "Wahai Jibril seszrngguhnya saya diutus kepada umat yang buta huruf, diantara mereka ada orang-orang tua dan sudah udzur, anak­anak, wanita hamba sahaya, serta orang-orang yang tidak pernah membaca buku sama sekali", Jibril berkata: "Wahai Muhammad sesungguhnya al-Qur'an itu diturunkan atas tujuh macam huruf. 54

Kedua :

Berkata kepada kami Abdullah bin Yusuf, Malik mengabarkan kepada kami dari ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahman bin Abdin al-qory, bahwa ia berkata : Saya mendengar Umar bin Khattab mengatakan : Saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqon dengan (bacaan) selain yang kubaca sedang Rasulullah Saw. telah membacakan (mengajarkan surat itu) kepada saya, saya hampir keburu (menegaskan masalah ini) kepadanya kemudian saya tunda sebentarsampai ia pulang, kemudian aku memanggilnya dan membawanya kehadapan Rasulullah Saw, maka saya mengatakan : Saya mendengar (hisyam) ini membaca dengan selain bacaan yang engkau ajarkan kepadaku, maka beliau mengatakan kepadaku : "Bawa ia (kepadaku) "kemudian berkata kepadanya : "Bacalah"maka ia segera membaca (dan Rasulullah) mengatakan : "Seperti inilah diturunkan", kemudian beliau berkata kepadaku : "Bacalah" maka saya membaca (dan Rasulullah) mengatakan: "Seperti inilah diturunkan, sesungguhnya al­Qur'an itu diturunkan dengan tujuh macam huruf, maka bacalah al-Qur'an dengan (bacaan) yang mudah (bagimu). 55

Dari kedua riwayat hadits di atas kita mengetahui bahwa variasi bacaan diterima Rasulullah lewat Jibril. Tujuh macam bacaan itu kemudian diajarkan kepada para sahabat, yang sekarang kita kenal sebagai "Qiraat Sab'ah" (tujuh macam bacaan). Tujuh macam cara baca itupun telah turun temurun dibacakan hingga sampai kepada kita sekarang ini. Sanad yang diterima oleh para penghafal Qur'an juga merujuk kepada salah satu dari ketujuh macam bacaan tersebut melalui sahabat yang langsung mendapatkan bacaan itu dari Rasulullah.

Dalam mengkaji masalah ini Robert morey masih menggunakan kacamata tradisi Kristen,56 sehingga adanya varian dalam Qur'an disamakan dengan varian dalam Injil. Padahal kenyataannya sangat berbeda, seperti berikut ini :

  • Varian dalam al-Qur'an yang kita kenal dengan tujuh macam cara baca, telah diperbolehkan oleh Rasulullah, dan hanya terbatas sesuai yang telah diajarkannya. Selanjutnya umat Islam tidak ada yang berani membaca dengan selain yang diajarkan olehnya. Perbedaan cara baca itu pun tidak melahirkan suatu pertentangan makna sehingga merubah subtansi ajaran yang pokok yaitu Tauhid. Justru perbedaan bacaan itu memberikan keleluasaan makna yang pada gilirannya memberikan keleluasaan pada umat Muslim dalam menjalankan ibadah clan mengatur kehidupannya. Tapi tidak menyangkut masalah pokok seperti Tauhid.

  • Tidak demikian dengan pemahaman yang ada dalam tradisi kristen. Varian yang ada dalam bibel adalah perbedaan isi yang terjadi karena pengubahan pada setiap edisi pencetakan. Contoh di bawah ini mungkin akan memperjelas pandangan kita:

- Dalam Bibel yang diterbitkan oleh The Gedeons, tahun 1976, dalam Imamat pasal 11 ayat 7 :

..., dan lagi babi, karena sungguhpun kukunya berbelah dua, ia itu bersiratan kukun'ya, tetapi ia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu.

Dalam Bibel yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta tahun 1999, dalam imamat pasal 11 ayat 7 :

..., dan lagi babi hutan, karena sungguhpun kukunya berbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi ia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu.

Tradisi kristen tidak mengenal istilah "Terjemah" yang ada adalah Injil bahasa Indonesia, Injil bahasa Inggris, dan lain-lain. Maka pengaruh Injil tahun 1976, akan berbeda dengan pengaruh Injil tahun 1999 -itupun jika berpengaruh-. Umat kristen - anggota jemaat- tidak bisa langsung merujuk kepada teks tertuanya seperti yang dilakukan oleh umat Islam. Sebagai gambaran, umat Katolik di Indonesia baru diperbolehkan membuka Injil pada tahun 1980, itupun setelah beberapa isi yang tidak bisa dinalar telah dihapuskan. Sebelum itu mereka hanya mendapatkan buku semacam buku ajar yang berupa tanya jawab masalah agama. Kini terbitan taliun 1999 itu dipakai baik oleh Protestan maupun Katolik.

Satu hal yang perlu dipertegas bahwa masalah Qira'ah sab'ah bukanlah hal yang ditutupi dalam khazanah keilmuan Islam, apalagi Rasulullah telah menetapkan adanya ketujuh macam bacaan itu. Untuk mendapatkan al-Qur'an dengan ketujuh macam bacaan tersebut anda tidak perlu susah-susah mencari teks-teks kuno di perpustakaan seperti orang yang mencari teks-teks yang seakan-akan disembunyikan-, anda cukup pergi ke toko buku, karena sudah terjual bebas. Kami pernah dapatkan di salah satu toko buku di Makkah-Arab Saudi.


NOTES

50 Majalah Gatra, Edisi 09, 2 Agustus 2003, hal. 34-45.

51. Robert Morey, op. cit., hall53.

52 ibid., ha188-189

53 ibid.

54 Sunan Ibnu Majah, kitab al-qiraat `an rasulillah. Menurut Abu Isa ini adalah hadits hasan shahih.

55.Shahih Bukhari.

56 Sunan Ibnu Majah, kitab al-qiraat `an rasulillah