Rabu, 12 Agustus 2009

Irene Handono, Bantahan Mantan Katolik (V.5)

V. KITAB SUCI
Kenapa kalian mengingkari

ayat-ayat Allah...?

BAHASA AL -QUR'AN

Allah Swt. telah menyatakan dalam al-Qur'an bahwa bahasa yang dipergunakan dalam pewahyuan adalah bahasa Arab (bilisanin 'arabiyyin mubiin) dengan bahasa Arab yang jelas. Lebih spesifik lagi riwayat Imam Bukhari tentang kodifikasi wahyu masa Utsman menyebutkan bahwa al-Qur'an ditulis dengan bahasa Arab Quraisy yang merupakan bahasa utama dikalangan suku-suku di Jazirah Arab. Tampilnya bahasa Quraisy, sebagai bahasa utama tidak terlepas dari keberadaan suku tersebut yang lebih dominan dalam kancah perdagangan dan posisi strategisnya yang ditempati Ka'bah, dimana ka'bah menjadi pusat kegiatan ritual kepercayaan mereka menjelang datangnya Islam.

Rasulullah dilahirkan di kalangan Suku Quraisybahkan dari klan terpandang yaitu Bani Hasyim dan tentunya bahasa keseharian beliau adalah bahasa Arab Quraisy. Walaupun pada dasarnya beliau mengusai dialek-dialek lain karena dibesarkan di Bani Saad yang oleh masyarakat Arab dikenal sebagai suku Paling fasih dalam berbahasa. Jika kemudian ketika beliau mendapatkan wahyu dari Allah Swt. dalam bahasa Arab, adalah suatu hal yang sangat wajar melihat latar belakang bahasa beliau. Justru tidak logis kalau al-Qur'an menggunakan bahasa lain yang tidak dipahami masyarakat Arab.

Kenyataan bahwa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab hendaknya dijadikan acuan para pengkaji Al-Qur'an sehingga kesalah pahaman dapat sedikit mungkin dihindari. Mengindahkan kenyataan di atas sama saja dengan mengesampingkan dan menutup-nutupi fakta.

Penelitian yang dilakukan oleh orientalis Jerman dengan nama samaran Christhop Luxemberg agaknya mengesampingkan kenyataan bahwa al-Qur'an disampaikan dengan bahasa Arab.50 Dan sudah maklum bahwa masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad Saw. pada awal masa dakwahnya adalah masyarakatnya sendiri yaitu masyarakat Arab dan yang paling dekat Quraisy. Oleh sebab itu untuk mendapatkan makna yang tepat dari al-Qur'an seorang pengkaji mestinya merujuk kepada bahasa Arab yang berlaku saat itu, atau minimal yang mendekati masa itu. Itulah sebabnya para ulama seringkali merujuk kepada syair-syair jahili karena lebih dapat menjelaskan pemakaian kata pada masa itu.

Kesamaan kata dalam bahasa serumpun bukan menjadi alasan untuk membacanya dengan bahasa tersebut karena memiliki makna yang berbeda. Sebagai contoh misalkan dalam buku yang ada ditangan anda kali ini, katakan kami menulis kata "Dewan Perwakilan Rakyat" untuk menyebut sebuah lembaga tinggi negara kita. Kata itu kemudian diperinci dan diruntut ke bahasa aslinya yang tentunya dari bahasa Arab. Kata pertama ketika dirujuk ke bahasa aslinya memiliki makna : daftar, tempat penulis, dan kumpulan syair. Setelah melihat makna yang diingini kemudian kata "Dewan Perwakilan Rakyat" diartikan sebagai `daftar perwakilan rakyat'.

Antara dialek satu dengan lain dalam satu bahasa saja kadang memiliki makna yang berbeda apalagi bahasa serumpun. Kata "kereta" misalnya di Jawa dipahami sebagai kendaraan yang ditarik oleh kuda, tapi di Medan dipahami sebagai sepeda motor, kata yang sama dengan dua makna di dua tempat yang berbeda. Tapi jika tulisan yang memakai kata "kereta" tersebut ditulis oleh orang Jawa maka tidak mungkin di pahami sebagai sepeda motor, kecuali penulisnya mengisyaratkan demikian.

Kenapa Bahasa Quraisy

Penggunaan bahasa Arab dengan dialek Quraisy dijadikan alasan oleh Dr. Robert morey untuk mengatakan bahwa al-Qur'an adalah karangan Nabi Muhammad Saw seperti berikut ini :

Umat Muslim menyatakan ba hwa AI-Qur'an "difurunkan" dari surga dan bahwa Muhammad fidak dapat dipandang sebagai penyusunnya. Tetapi menuruf Concise Encyclopedia of Islam, bahasa Arab yang dipakai dalam AI-Qur'an itu merupakan suatu dialek kosakafa dari salah seorang anggota suku Quraisy yang finggal di kota Makkah. Jadi sidik jari Muhammad fercecer di seluruh AI-Qur'an.51

Pernyataan seperti di atas hanya pantas diucapkan oleh seorang yang tidak memiliki nabi. Bukankah nabi dari pembuat pernyataan tersebut menerima wahyu dalam bahasanya sendiri? Ungkapan balik semacam ini tidak berguna sebab yang mempertanyakan memang tidak punya nabi/rasul sebab sudah dilantik Paulus menjadi tuhan.

Umat Kristen yang mengakui Injil tentu mengakui Taurat, yang tentunya mengakui adanya wahyu yang berbahasa Ibrani tersebut. Kenapa harus berbahasa Ibrani? Pertanyaan yang sama : "Kenapa harus berbahasa Quraisy ?". Semua wahyu yang berasal dari Allah tentu saja boleh dikatakan Surgawi - untuk menyatakan wahyu itu berasal dari yang Kuasa-, wahyu tersebut disampaikan kepada masing-masing rasul dengan bahasa umat mereka. Kalau umat Muslim diberi wahyu berbahasa Ibrani tentu saja tidak akan paham, kalau tidak dipahami apa fungsinya wahyu ?. Taurat sendiri dalam kitab Ulangan :18 :18 menubuatkan kemunculan Muhammad, yang bahkan menerangkan bagaimana proses pewahyuan itu dilakukan. Lihat bab. Wahyu dan pewahyuan.

Majaz (Metafora)

Interpretasi terhadap sebuah teks dalam bahasa apapun dibutuhkan kemampuan bahasa yang baik, agar sebisa mungkin terhindar dari misinterpretasi, apalagi terhadap teks semacam Qur'an yang menjadi sumber utama ajaran Islam. Dalam tradisi keilmuan Islam untuk menjadi seorang mufassir (interpretator) syarat kemampuan yang harus dimiliki amat ketat. Selain kemampuan bahasa dengan segala cabang keilmuannya seperti gramatika, retorika; juga diperlukan ilmu-ilmu pendukung lain seperti Hadits dan Mushthalah al-Hadits, Fiqh dan Maqasid as. Syar' dan yang tidak kalah penting adalah Ulum al-Qur'an, Tajwid, Qiroat, juga ilmu-ilmu pendukung lain.

Majaz yang merupakan salah satu bahasan dalam retorika bahasa Arab, tentu tidak bisa diabaikan dalam memahami makna teks al-Qur'an. Apalagi bahwa majaz adalah gejala bahasa yang

lazim dikenal oleh pengguna bahasa manapun. Dua kata metaforis dalam Qur'an -telah dipahami salah oleh Dr.Robert Morey. la sendiri mengakui telah menerjemahkan secara literal. Berikut ini kutipan dari pernyataannya tentang rasisme :

Menuruf terjemahan bahasa Arab secara literal dari Surat 3:106-107, pada Hari Penghakiman, hanya orang-orang dengan wajah pufih yang diselamatkan. Orang-orang dengan wajah hitam akan dihukum. Ini merupakan rasisme dalam bentuknya yang paling jelek. 52

Kata hitam dan putih dengan makna metaforisnya "susah" dan "senang" hingga saat ini masih dipakai dalam bahasa keseharian masyarakat Arab. Mereka sering menggunakan kata khabar aswad (literalnya- kabar hitam) untuk menyatakan berita/keadaan yang tidak menyenangkan, dan khabar abyadl (literalnya-kabar putih) untuk mengungkapkan makna berita/keadaan gembira. Memaknai dua kata dalam ayat yang dimaksud Robert Morey, akan terdengar lucu jika dimaknai secara literal, sehingga terkesan adanya unsur kesengajaan, demi menuduh adanya rasisme dalam Islam.

Dengan memperhatikan kebiasaan masyarakat Arab dalam mengungkapkan makna senang dan sedih seperti contoh di atas, pembaca akan segera tahu apa yang dimaksud oleh Qur'an dengan wajah putih dan hitam. Makna wajah putih dalam ayat tersebut adalah wajah yang gembira karena selamat dalam penghakiman (hisab) sedang yang kedua adalah wajah yang sedih karena tidak selamat dan akan dihukum. Dan itu bisa terjadi atas siapa saja, termasuk mereka yang terlalu bangga dengan ras kulit putihnya. Jika hanya hitam dan putih saja yang masuk penghakiman, maka berbahagialah orang Indonesia yang berkulit coklat sawo matang.

Kata Asing Dalam Qur'an

Masyarakat Arab yang mendapat kehormatan karena bahasanya menjadi bahasa perantara wahyu melalui Nabi Muhammad, adalah masyarakat pedagang. Tanah yang gersang dan tandus -khususnya di Makkah- menjauhkan mereka dari kehidupan agraris. Sebagai pedagang berkeliling mencari clan menawarkan barang dagangan adalah keharusan. Melalui kegiatan ini interaksi dengan bangsa lain dilakukan, dan lewat jalan ini pula kegiatan dakwah Islam sering mereka lakukan.

Interaksi masyarakat Arab dengan bangsa lain jelas akan mempengaruhi bahasa mereka. Pada masa Rasulullah -saat wahyu diturunkan- beberapa kata asing sudah masuk ke dalam bahasa Arab. Kata yang masuk ke dalam bahasa komunikasi mereka kadang dipakai apa adanya kadang mereka carikan padan katanya, ini lah yang mereka sebut at- Ta'rib yaitu upaya mewujudkan kata dalam bahasa Arab untuk istilah clan ungkapan dari kata asing yang mereka adobsi. Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, dan merupakan gejala yang sangat wajar dalam dinamika suatu bahasa.

Dalam kajian ulumul Qur'an banyak ulama yang membahas masalah ini diantaranya adalah Imam Suyuthi dalam bukunya al-Itqan Fi Ulum al-Qur'an. Namun demikian sangatlah salah jika Robert Morey menyatakan bahwa masuknya bahasa asing dalam al-Qur'an dikatakan "kecolongan”53 apalagi jika alasan tersebut dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ajaran al-Qur'an dari bangsa asing. Bahasa asing yang masuk dalam bahasa al-Qur'an adalah bahasa asing yang sudah diadopsi bahasa Arab. Karena al-Qur'an diturunkan dengan memakai bahasa Arab, maka sudah pasti al-Qur'an menggunakan kata clan istilah yang dipakai oleh masyarakat saat itu. Justru kalau al-Qur'an memakai bahasa yang tidak dipahami oleh bangsa Arab maka proses dakwah akan terganjal, karena bahasa perantaranya tidak dipahami, yang pada gilirannya wahyu tidak berfungsi Ambil contoh misalnya dalam pengajaran komputer. Karena banyak istilah komputer sudah diadopsi oleh bahasa Indonesia, maka akan mudah jika mengajarkannya dengan memakai istilah­istilah asing tersebut dari pada memberikan padan katanya dalam bahasa Indonesia. Tapi tidak ada yang mengatakan bahwa anda mengajar komputer dengan bahasa Inggris. Sama seperti buku yang ada di tangan pembaca, walaupun bahasa Indonesia mengadopsi banyak bahasa asing tapi tidak ada yang mengatakan bahwa buku ini ditulis dengan bahasa asing.

Variasi Bacaan al-Qur'an.

Sejak masa diturunkan al-Qur'an variasi bacaan sudah ada bahkan Rasulullah sendiri menyatakan hal itu. Namun demikian bukan berarti umat Muslim boleh membaca seenaknya sesuai dialek dan kemauan mereka. Variasi bacaan tersebut telah ditetapkan sejak masa Rasulullah sehingga umat Muslim mendapatkan keleluasaan dalam memahami teks al-Qur'an dengan tetap memperhatikan bacaan yang sudah di akui kebenarannya oleh Rasulullah sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam riwayat berikut ini :

Pertama :

...dari Ubay bin Ka'b mengatakan : Rasulullah bertemu dengan Jibril, maka beliau berkata : "Wahai Jibril seszrngguhnya saya diutus kepada umat yang buta huruf, diantara mereka ada orang-orang tua dan sudah udzur, anak­anak, wanita hamba sahaya, serta orang-orang yang tidak pernah membaca buku sama sekali", Jibril berkata: "Wahai Muhammad sesungguhnya al-Qur'an itu diturunkan atas tujuh macam huruf. 54

Kedua :

Berkata kepada kami Abdullah bin Yusuf, Malik mengabarkan kepada kami dari ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahman bin Abdin al-qory, bahwa ia berkata : Saya mendengar Umar bin Khattab mengatakan : Saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqon dengan (bacaan) selain yang kubaca sedang Rasulullah Saw. telah membacakan (mengajarkan surat itu) kepada saya, saya hampir keburu (menegaskan masalah ini) kepadanya kemudian saya tunda sebentarsampai ia pulang, kemudian aku memanggilnya dan membawanya kehadapan Rasulullah Saw, maka saya mengatakan : Saya mendengar (hisyam) ini membaca dengan selain bacaan yang engkau ajarkan kepadaku, maka beliau mengatakan kepadaku : "Bawa ia (kepadaku) "kemudian berkata kepadanya : "Bacalah"maka ia segera membaca (dan Rasulullah) mengatakan : "Seperti inilah diturunkan", kemudian beliau berkata kepadaku : "Bacalah" maka saya membaca (dan Rasulullah) mengatakan: "Seperti inilah diturunkan, sesungguhnya al­Qur'an itu diturunkan dengan tujuh macam huruf, maka bacalah al-Qur'an dengan (bacaan) yang mudah (bagimu). 55

Dari kedua riwayat hadits di atas kita mengetahui bahwa variasi bacaan diterima Rasulullah lewat Jibril. Tujuh macam bacaan itu kemudian diajarkan kepada para sahabat, yang sekarang kita kenal sebagai "Qiraat Sab'ah" (tujuh macam bacaan). Tujuh macam cara baca itupun telah turun temurun dibacakan hingga sampai kepada kita sekarang ini. Sanad yang diterima oleh para penghafal Qur'an juga merujuk kepada salah satu dari ketujuh macam bacaan tersebut melalui sahabat yang langsung mendapatkan bacaan itu dari Rasulullah.

Dalam mengkaji masalah ini Robert morey masih menggunakan kacamata tradisi Kristen,56 sehingga adanya varian dalam Qur'an disamakan dengan varian dalam Injil. Padahal kenyataannya sangat berbeda, seperti berikut ini :

  • Varian dalam al-Qur'an yang kita kenal dengan tujuh macam cara baca, telah diperbolehkan oleh Rasulullah, dan hanya terbatas sesuai yang telah diajarkannya. Selanjutnya umat Islam tidak ada yang berani membaca dengan selain yang diajarkan olehnya. Perbedaan cara baca itu pun tidak melahirkan suatu pertentangan makna sehingga merubah subtansi ajaran yang pokok yaitu Tauhid. Justru perbedaan bacaan itu memberikan keleluasaan makna yang pada gilirannya memberikan keleluasaan pada umat Muslim dalam menjalankan ibadah clan mengatur kehidupannya. Tapi tidak menyangkut masalah pokok seperti Tauhid.

  • Tidak demikian dengan pemahaman yang ada dalam tradisi kristen. Varian yang ada dalam bibel adalah perbedaan isi yang terjadi karena pengubahan pada setiap edisi pencetakan. Contoh di bawah ini mungkin akan memperjelas pandangan kita:

- Dalam Bibel yang diterbitkan oleh The Gedeons, tahun 1976, dalam Imamat pasal 11 ayat 7 :

..., dan lagi babi, karena sungguhpun kukunya berbelah dua, ia itu bersiratan kukun'ya, tetapi ia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu.

Dalam Bibel yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta tahun 1999, dalam imamat pasal 11 ayat 7 :

..., dan lagi babi hutan, karena sungguhpun kukunya berbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi ia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu.

Tradisi kristen tidak mengenal istilah "Terjemah" yang ada adalah Injil bahasa Indonesia, Injil bahasa Inggris, dan lain-lain. Maka pengaruh Injil tahun 1976, akan berbeda dengan pengaruh Injil tahun 1999 -itupun jika berpengaruh-. Umat kristen - anggota jemaat- tidak bisa langsung merujuk kepada teks tertuanya seperti yang dilakukan oleh umat Islam. Sebagai gambaran, umat Katolik di Indonesia baru diperbolehkan membuka Injil pada tahun 1980, itupun setelah beberapa isi yang tidak bisa dinalar telah dihapuskan. Sebelum itu mereka hanya mendapatkan buku semacam buku ajar yang berupa tanya jawab masalah agama. Kini terbitan taliun 1999 itu dipakai baik oleh Protestan maupun Katolik.

Satu hal yang perlu dipertegas bahwa masalah Qira'ah sab'ah bukanlah hal yang ditutupi dalam khazanah keilmuan Islam, apalagi Rasulullah telah menetapkan adanya ketujuh macam bacaan itu. Untuk mendapatkan al-Qur'an dengan ketujuh macam bacaan tersebut anda tidak perlu susah-susah mencari teks-teks kuno di perpustakaan seperti orang yang mencari teks-teks yang seakan-akan disembunyikan-, anda cukup pergi ke toko buku, karena sudah terjual bebas. Kami pernah dapatkan di salah satu toko buku di Makkah-Arab Saudi.


NOTES

50 Majalah Gatra, Edisi 09, 2 Agustus 2003, hal. 34-45.

51. Robert Morey, op. cit., hall53.

52 ibid., ha188-189

53 ibid.

54 Sunan Ibnu Majah, kitab al-qiraat `an rasulillah. Menurut Abu Isa ini adalah hadits hasan shahih.

55.Shahih Bukhari.

56 Sunan Ibnu Majah, kitab al-qiraat `an rasulillah

1 komentar:

  1. saya ragu jika anda adalah mantan Katolik, coba jelaskan konsep Tritunggal Maha Kudus menurut pengetahuan anda sebagai mantan seorang katolik??

    BalasHapus